Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.
Sebagai ucap syukur, umat Hindu mempersembahkan sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair).
“Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat, berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa buah bisa untuk Galungan,” kata I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.
Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Pada hari itu, umat Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan dikonsumsi.
Dia mengatakan, sebutan Nini dalam tumpek wariga ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, penguasa segala tumbuh tumbuhan. “Agar memberikan anugerah kepada mangga, durian, pisang, dan pohon pohon lain, supaya buah bisa cepat matang, lalu untuk Hari Galungan.”
Tumpek wariga, kata Sudiana, merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan dengan selalu menanam pohon di pekarangan. “Memang, pelajaran ini ditekankan karena daerah pertanian. Agar generasi muda paling tidak menghasilkan buah-buahan untuk sendiri dan persembahan, kalau bisa lagi dijual, bagus.”